Monday, June 13, 2016

Nyanyian sunyi dari Indragiri

1.       Guntingan koran itu masih ada di mejanya. Tidak semua koran menulistentang peristiwa itu, hanya beberapa. Dan yang beberapa itulah yang membuatnya tersentak. Ada yang nyeri dalam dadanya, ada yang hampa dalam jiwanya. Benarkah berita itu? Tidakkah salah korankoran itu menulis tentang hilangnya lelaki itu terbawa arus Sungai Indragiri yang menenggelamkan beberapa kampung di Indragiri?
(NSdI, 2004:1)(Kutipan:25)
2.       Kami memang bekerja keras untuk meyakinkan publik, baik di media massa maupun di persidangan bahwa pembakaran base camp yang dilakukan oleh Kalid dan teman-temannya, hanyalah sebuah akibat dari sebuah keputusan pemerintah ketika menerbitkan SK HPH untuk PT Riau Maju Timber yang sahamnya mayoritas dimiliki DC.
(NSdI, 2004:8) (Kutipan:17)
3.       “... Tetapi Yang Mulia, apakah kita juga harus membiarkan ketika masyarakat kecil yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum, diperlakukan tidak adil oleh hukum yang justru melindungi pihak lain dengan memakai kata sebagai aset pemerintah? Bahwa hukum yang dibenarkan itu hanya untuk melindungi kelompok kecil yang memiliki modal dan bisa membayar semuanya? Apakah banjir bandang yang selalu datang setiap tahun yang sering menelan korban rakyat kecil, tidak bisa menjadi alasan bahwa semua itu adalah akibat dari eksplorasi hutan yang berlebihan di daerah sekitar? Mengapa kita harus menyebutnya bahwa itu hanya sebuah bencana alam yang diberikan oleh Tuhan...?”
(NSdI, 2004:9) (Kutipan:18)
4.       Kalid divonis setahun dua bulan oleh hakim.
(NSdI, 2004:12) (Kutipan:29)
5.       Ketika hakim selesai membaca keputusan, kembali, mereka kalap dan mengatakan bahwa hukuman itu tidak adil untuk Kalid.”Yang pantas dihukum itu Dedi Chandra dan antek-anteknya!” teriak mereka. “Hakim telah dibayar oleh Dedi Chandra!” teriak yang lain.
(NsdI, 2004:12) (Kutipan:16)
6.       Engkau tahu, aku lahir dan besar di sebuah kampung terisolir yang hingga kini masih seperti itu ketika aku meninggalkannya hampir tujuh tahun lalu. Kemiskinan bukan lagi hal baru, dan itu yang terus menerus kami lawan. Tetapi kemiskinan itu semakin bertambah dengan penderitaan yang kami, orang kampung, sulit mencari solusinya. Bahkan, saking bodohnya, engkau tentu tahu kisah tentang Fatimah dan Ipah, dua wanita yang dikorbankan kepada penunggu Sungai Indragiri ketika musim panas melanda kampung kami selama berbulan-bulan. Itu bukan sebuah bagian dari budaya, Alia, tetapi itu adalah bentuk ironis dari kebodohan kami.
(NSdI, 2004:18) (Kutipan:20)
7.       Mulanya, dengan inisiatif sendiri, aku datang ke kantor Dinas Kehutanan di Rengat ketika libur kuliah dan mengatakan kepada mereka bahwa aktivitas PT Riau Maju Timber di kampung kami harus dihentikan. Sebab, lambat-laun hutan di kampung kami habis dan banjir selalu datang menenggelamkan kampung kami. Tapi apa jawaban mereka? “Tidak hanya di kampungmu hutan ditebang, tetapi mengapa hanya kamu yang melapor? Itu bukan urusan kamu, pemerintah yang memberi izin!”
(NSdI, 2004:19) (Kutipan:14)
8.       Namun, aku benar-benar terpukul ketika musim hujan di bulan September, aku kehilangan abah. Aku tak bisa pulang ketika itu, karena permukaan Sungai Indragiri naik dan gemuruh alirannya seperti ombak yang bergulung berwarna kuning. Aku menginap di rumah penjaga sekolah selama tiga hari. Ketika hari Sabtu tak hujan, aku pulang dan bisa menyeberang. Namun yang kudapati di sana, umi tidak di rumah dan seluruh penduduk kampung berdoa, membaca Surat Yasin. Aku bertanya siapa yang meninggal dan mereka diam semua... Umi kemudian meminta saya mendekat dan mengatakan, “Relakan abahmu..”
 (NSdI, 2004:21) (Kutipan:8)
9.       Bulan April 1998, sekilas, dari siaran radio yang aku dengar, keadaan politik memang memburuk akibat jatuhnya harga rupiah. Tetapi bagi kami, naiknya dolar malah melambungkan harga getah karet, dan harga kayu juga naik drastis. Inilah yang kemudian memulai segalanya.
(NSdI, 2004:22) (Kutipan:1)
10.   Apakah ada jaminan bagi kami, bagi umi dan warga kampung ini bahwa dengan semua penderitaan itu akan masuk surga?
“Tuhan tidak ada di sini, Ustaz..” kataku perlahan kepada Ustaz Mahyudin setelah acara yasinan selesai. ...Aku diam. Namun sejak itu, aku sudah pergi dari Tuhan dan tak menyentuh surau atau kitab suci lagi. Aku kecewa sekali. Mungkin imanku yang pendek, tetapi kenapa semua menjadi tidak adil untuk kami?
(NSdI, 2004:22) (Kutipan:19)
11.   Markoni datang ke rumah dan mengatakan bahwa PT Riau Maju Timber sudah melakukan penebangan kayu hampir sampai perbatasan kampung kami. Beberapa hutan di kampung sebelah sudah lenyap dan tinggal semak yang akan mudah termakan api kalau musim panas datang pertengahan tahun nanti. “Saya kemarin sempat masuk ke lokasi penebangan mereka, Bang. Sebentar lagi mungkin hutan yang di sebelah barat kampung kita ini sudah habis. Sejak Abang pergi kuliah, kami tak boleh lagi pergi membalak ke hutan. Mereka bilang hutan kita ini masuk HPH mereka..”
(NSdI, 2004:22—23) (Kutipan:2)
12.   Di depan beberapa pemuda, suatu malam, aku menjelaskan bagaimana tamaknya perusahaan-perusahaan besar dalam menjalankan bisnisnya. “Kapitalis modern tak membutuhkan tenaga kerja yang berlebihan. Mereka pelit memberikan kesejahteraan kepada pekerja. Jangan percaya kepada masa depan cerah yang mereka janjikan. Temanteman, dari dulu hingga sekarang, kita tetap miskin, sementara mereka selalu datang dan pergi membawa kekayaan alam kita. Tak ada agama yang bisa membebaskan masyarakat dari kemiskinan ini. Dalam Islam, Tuhan juga mengatakan bahwa yang menentukan nasib seseorang adalah orang itu sendiri. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu umat, kalau umat itu sendiri tidak mau mengubahnya. Artinya apa, kita sendiri yang harus bekerja keras untuk keluar dari masalah ini..”
(NSdI, 2004:25) (Kutipan:26)
13.   Ya, siapa yang tak kenal DC?
 Melawan dia berarti siap menentang maut. Tetapi aku tak hendak melawan dia. Aku hanya mengatakan kepada penduduk bahwa yang membebaskan kemiskinan adalah keyakinan diri kita sendiri. Malam yang kering pada 12 Agustus 1998 itulah, aku merasa menjadi manusia yang berani melawan sesuatu yang memang harus dilawan. Aku menjadi paham, bahwa tak ada penunggu Sungai Indragiri, yang ada hanyalah perusahaan HPH yang menghabiskan hutan dan membuat bencana setiap tahunnya.
(NSdI, 2004:28) (Kutipan:9)
14.   Malam itu kami bergerak sekitar 30 orang laki-laki dan berkumpul di rumah Markoni. Kami berjalan tanpa penerangan menuju kompleks perusahaan itu dengan membawa beberapa jeriken minyak bensin dan masing-masing orang membawa geretan pemantik api.
(NSdI, 2004:28) (Kutipan:11)
15.   Aku memang terseret dendam pribadi, dan masyarakat kampungku juga marah!
(NSdI, 2004:30)(Kutipan:10)
16.   Kedua penjaga itu terkejut dan dia lebih terkejut lagi karena pada saat yang bersamaan, semua pagar keliling sudah menyala dan beberapa saat setelah itu seluruh bangunan di dalam kompleks itu menyala. Malam itu, ada api yang membakar, seperti dadaku yang dibakar dendam!
(NSdI, 2004:30) (Kutipan:27)
17.   Tak ada yang bisa menyelamatkan base camp itu dari amukan api. Bangunan yang hampir seluruhnya terbuat dari kayu tersebut menjadi makanan empuk api yang kemudian membumbung dan menjadi bola api raksasa terlihat dari jauh yang memecah kesunyian kampung itu.
(NSdI, 2004:30) (Kutipan:12)
18.   Yang ada dalam pikiranku sejak aku mulai memahami pedihnya menjadi orang miskin adalah bagaimana supaya kami semua di kampung diperhatikan; sekolah dibangun dengan layak, jalan dan jembatan dibuat dan orang-orang di kampung kami tidak bermental terbelakang seperti itu.
(NSdI, 2004:31-32) (Kutipan:23)
19.   Mereka dekat dengan sebuah ornamen modern berupa perusahaan pengolahan kayu, tetapi mereka menjadi buruh dan bahkan budak di tanah mereka sendiri. Mereka tak bisa berbuat banyak. Kami tak bisa lagi mencari kayu barang dua atau tiga kubik seminggu dan itu dilakukan dengan gotong royong, karena penguasaan hutan sudah dimiliki oleh perusahaan itu. Kami hanya bisa menakik getah, mencari ikan di sungai dan menjualnya ke pasar. Sementara, setiap musim panas kami kebagian asap tebal, dan setiap musim hujan kami mendapatkan banjir bandang.
(NSdI, 2004:32) (Kutipan:21)
20.   Namun dia tetap memiliki keinginan itu; menjadi guru dan mengajar anak-anak di kampungnya, agar tidak hanya sekadar bisa tulis-baca Alquran seperti selama ini didapatkannya dari guru mengaji di surau ketika malam setelah sholat Maghrib. Dia ingin menjadi guru, agar anak-anak di kampung ini bisa sekolah yang lebih tinggi; menjadi insinyur untuk membangun jembatan dan jalan di kampungnya, atau menjadi pejabat agar punya pikiran untuk membangun sekolah di kampungnya.
(NSdI, 2004:35) (Kutipan:24)
21.   Tahun 1986, inilah tahun terburuk dalam sejarah bencana di kampungnya. Dia baru tamat SD ketika itu dan umurnya baru 12 tahun. Meski masih bau ingus, tetapi dia ingat betul semua yang terjadi di kampungnya; panas terik sepanjang tahun, beras menjadi langka, pohon karet tak mengeluarkan getah karena tak tersiram air. Penduduk kampung itu akhirnya banyak yang mencari ubi dan talas ke kampung lain untuk sekadar mempertahankan hidup.
(NSdI, 2004:38) (Kutipan:3)
22.   Panas terik masih terus memanggang kampungnya, juga kampungkampung lain di pinggir sungai itu. Asap mengepul dari hutan-hutan di pinggir kampung yang sudah banyak terbakar. Hampir setiap hari pula, dia selalu mendengar suara mesin penebang kayu meraung-raung tidak siang tidak malam dan beberapa hari kemudian kayu-kayu, yang sudah dirajang dengan rapi baik berbentuk papan maupun batangan segi empat dikeluarkan oleh serombongan kerbau dari hutan. Sesampai di pinggir sungai, ada orang yang mengikatnya dengan tali atau kawat dan kemudian dalam jumlah besar dialirkan ke arah hilir sungai dan dikendalikan oleh kepompong bermesin diesel. Hampir setiap hari, dalam panas yang memanggang kampung itu, hal seperti itu terjadi; raungan gergaji sepanjang hari, suara gedblar kayu tumbang, kayu yang ditarik kerbau keluar dari hutan menuju pinggir sungai, dan rombongan aliran kayu ke arah hilir.
(NSdI, 2004:39—40) (Kutipan:4)
23.   “Karena mereka menghancurkan hutan yang menyerap dan menyimpan air saat musim hujan dan mengeluarkannya saat musim panas seperti sekarang. Lihatlah, air sungai sudah hampir mengering dan kita kehilangan mata pencaharian karena ikan-ikannya sudah habis, tak ada air.”
(NSdI, 2004:41) (Kutipan:5)
24.   Namun, ternyata berhari-hari kemudian hujan benar-benar tak berhenti. Air sungai naik hingga ke rumah panggung. Suara gemuruh datang seperti air bah yang menggulung, atau bunyi ombak badai di lautan ganas. Yang datang beberapa saat setelah itu, benar, air menggulung dan rumah-rumah penduduk terhempas seperti suara kapal yang pecah dihantam badai. Banjir benar-benar datang dan mereka tak sempat menyelamatkan apa-apa.... Banyak rumah yang hancur, ternak yang terbawa air, dan korban jiwa yang belum terhitung.
(NSdI, 2004: 49—50) (Kutipan:6)
25.   Seminggu hujan tak berhenti dan kampung itu benar-benar menjadi danau baru, mungkin juga puluhan kampung lainnya di sepanjang aliran sungai. Kalid juga masih ingat ketika itu, setelah air surut dan normal, kampung itu dilanda wabah kolera. Penyakit itu datang tidak hanya menyerang anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Banyak yang meninggal ketika itu, sekitar pertengahan tahun 1986, karena bantuan obat-obatan dan dokter dari kota terlambat. Transportasi yang susah membuat distribusi bantuan tersendat, ini belum lagi masalah birokrasi yang selalu menjadi penghambat penyaluran bantuan dalam bencana apapun.
(NSdI, 2004:51) (Kutipan:22)
26.   Penebangan hutan yang tidak terkontrol dan pembakaran yang dilakukan membuat bencana itu selalu datang. Hampir setiap tahun juga, Kalid selalu menyaksikan kampungnya menjadi danau berwarna kuning dan seluruh warga kampung harus mengungsi ke bukit selama beberapa hari sampai air surut.
(NsdI, 2004:53) ( Kutipan:7)
27.   Hingga kemudian seluruh penduduk kampung itu tersadar, di suatu malam yang kering, base camp perusahaan itu terbakar. Apinya menjulur ke atas di malam yang gelap di tengah hutan, menjulur seperti ingin menjilat apa saja untuk dimakan dan dihancurkan.
(NSdI, 2004:57) (Kutipan:28)
28.   Ada air bandang manghancurkan kampung. Ada kebakaran; kabut, jerebu... Ada luka, sakit hati dan kebencian yang membludak di dada. Kebencian yang berasal dari kekecewaan karena ketidakadilan: kepemilikan yang tercabut dan diambil dengan paksa. Mereka memiliki izin dari pemerintah, tetapi tanah ini bukan tanah pemerintah. Tanah ini milik manusia; rakyat, orang-orang yang tinggal, lahir dan besar di tanah ini.
(NSdI, 2004:58) (Kutipan:15)
29.   Maret 2000. Penjara telah mengajarkan aku banyak hal. Paling tidak, aku semakin memahami bahwa di tempat yang terkungkung seperti itu, aku malah menemukan kebebasan untuk melakukan banyak hal, termasuk berpikir bagaimana mencari kehidupan yang lebih baik suatu saat nanti. Di penjara, aku banyak memiliki waktu untuk merenung dan belajar menghargai orang lain, meski banyak orang yang tak mau menghargaiku. Aku maklum, mereka kebanyakan memang residivis dan terbiasa dalam kehidupan yang keras.
(NSdI, 2004:62) (Kutipan:30)
30.   Namun ketika sampai di Rimbo Pematang, tak kudapati umi. Aku hanya menemukan gundukan tanah merah di pinggir hutan dan jawaban para tetangga tentang meninggalnya perempuan yang paling kucintai itu beberapa hari sebelumnya.
(NSdI, 2004:62) (Kutipan:31)
31.   Tengah malam aku meninggalkan Rimbo Pematang, meninggalkan segala cinta yang kumiliki di kampung itu. Meninggalkan semuanya. Aku berlari membawa sayatan yang sangat pedih. Aku berjalan kaki beberapa jam dan tiba di Lintas Timur ketika hawa dingin menusuk tulang, dan aku tak tahu harus ke mana. Sebuah bus ke arah utara berhenti dan aku naik. Paginya, bus berhenti di Pekanbaru dan aku turun di kota itu. Aku pernah beberapa kali ke Pekanbaru, tetapi aku tidak kenal betul dengan Pekanbaru karena aku lebih kenal Kota Jambi, tempat aku kuliah, selain jarak yang lebih dekat ke Jambi ketimbang ke Pekanbaru.
(NSdI, 2004:63) (Kutipan:32)
32.   Di dekat penginapan itu, ada rumah makan Padang yang cukup ramai. Aku menemui salah seorang pemiliknya dan mengatakan ingin bekerja sebagai apapun, yang penting menyambung hidup. Si pemilik rumah makan itu, orang memanggilnya Ajo Yusrizal, tertawa mendengar apa yang kukatakan... Dia mengatakan bahwa sebenarnya semua tempat sudah cukup. Namun kemudian dia bilang, kalau aku mau, aku bekerja dulu di belakang sebagai tukang cuci piring.
(NSdI, 2004:64) (Kutipan:33)
33.   Namun, DC dan perusahaannya telah menghancurkan semuanya. Aku berubah menjadi emosional dan gampang marah serta selalu memendam dendam. Aku sakit hati dan selalu memendam perasaan ingin menghancurkannya suatu saat nanti kalau ketemu dia, atau siapapun orang dekatnya. Dia telah menghancurkan semuanya; banjir dan kekeringan karena hutan di sekitar kampungku habis, abah terbawa aliran sungai dan jasadnya pun aku tak pernah melihatnya, aku bersama teman-teman membakar base camp dan kemudian masuk penjara yang mungkin membuat umi tertekan batin karena anak satusatunya berurusan dengan masalah kriminal dan akhirnya meninggal hanya beberapa hari sebelum aku keluar dari penjara. Tidak cukupkah itu menjadi alasan untuk menghancurkannya?
(NSdI, 2004: 86) (Kutipan:13)
34.   “Aku ingin dia hancur, Sarah... Aku marah karena DC adalah biang kehancuran semuanya..” (NSdI, 2004:90) (Kutipan:34)
35.   Beberapa bulan kemudian, hampir Subuh dia datang ke rumah dan mengatakan dia akan pergi jauh. Perasaanku mengatakan telah terjadi apa-apa dengan dirinya. Aku yakin dia telah melakukan sesuatu dan aku yakin itu ada hubungannya dengan DC... “Mungkin saat ini sedang sibuk dan menyebarkan intelijennya untuk mencari pelakunya. Aku telah menghancurkan DC..”
(NSdI, 2004:94) (Kutipan:35)
36.   “... Perjalananku tak tentu arah, bisa saja aku akan lama masuk di hutan atau tinggal berpindah-pindah di kota besar dengan menjadi gembel atau pengemis.”
(NSdI, 2004:95) (Kutipan:36)
37.   Ketika kemudian aku mendengar berita itu: engkau hilang terseret arus sungai dan mayatmu tak ditemukan dalam sebuah banjir bandang yang melanda kampungmu, aku sudah kehabisan air mata, Kalid. Aku yakin dan percaya, seperti kejadian-kejadian sebelumnya, engkau selalu lolos dari apa yang diperkirakan orang. Entahlah, entah kapan lelaki sepertimu akan mati, atau engkau memang memiliki ilmu yang membuatmu tak mati, tak terdeteksi aparat, bisa membuat semua orang mencintaimu dan segala ilmu lainnya?
(NSdI, 2004:97—98) (Kutipan:37)
38.    Aku tak yakin, meski aku mempercayainya: kamu bisa melakukan segalanya seperti yang engkau inginkan. Benarkah engaku telah mati?
(NSdI: 2004:98) (Kutipan:38)
39.   Kemudian, seperti dalam cerita-cerita komik atau film silat, lelaki berambut gondrong menggendong tas ransel itu berjalan menjauhi lapau itu, yang membuat semua orang yang ada di situ melongo. Angin senja yang hampir habis membuat rambutnya berkibar-kibar, dan sinarmatahari yang hampir tenggelam membuat tubuhnya tampak hanya bayangan, seperti siluet. Dia berjalan ke arah barat, ke arah matahari tenggelam, ke arah Bukit Tengkorak, bukit kematian yang diyakini oleh seluruh penduduk di kaki Gunung Kerinci itu.
(NSdI, 2004:100) (Kutipan:39)
40.    Dingin yang membuat beku, dan laki-laki berambut gondrong menggendong tas ransel itu tetap berjalan dalam gelap, tanpa cahaya apapun, tanpa apa-apa. Hanya berjalan, ke arah entah.

(NSdI, 2004:101) (Kutipan:40)

No comments:

Post a Comment