1.
Guntingan koran itu masih ada di mejanya.
Tidak semua koran menulistentang peristiwa itu, hanya beberapa. Dan yang
beberapa itulah yang membuatnya tersentak. Ada yang nyeri dalam dadanya, ada
yang hampa dalam jiwanya. Benarkah berita itu? Tidakkah salah korankoran itu
menulis tentang hilangnya lelaki itu terbawa arus Sungai Indragiri yang
menenggelamkan beberapa kampung di Indragiri?
(NSdI, 2004:1)(Kutipan:25)
2.
Kami memang bekerja keras untuk meyakinkan
publik, baik di media massa maupun di persidangan bahwa pembakaran base camp
yang dilakukan oleh Kalid dan teman-temannya, hanyalah sebuah akibat dari
sebuah keputusan pemerintah ketika menerbitkan SK HPH untuk PT Riau Maju Timber
yang sahamnya mayoritas dimiliki DC.
(NSdI, 2004:8) (Kutipan:17)
3.
“... Tetapi Yang Mulia, apakah kita juga harus
membiarkan ketika masyarakat kecil yang seharusnya mendapatkan perlindungan
hukum, diperlakukan tidak adil oleh hukum yang justru melindungi pihak lain
dengan memakai kata sebagai aset pemerintah? Bahwa hukum yang dibenarkan itu
hanya untuk melindungi kelompok kecil yang memiliki modal dan bisa membayar
semuanya? Apakah banjir bandang yang selalu datang setiap tahun yang sering menelan
korban rakyat kecil, tidak bisa menjadi alasan bahwa semua itu adalah akibat
dari eksplorasi hutan yang berlebihan di daerah sekitar? Mengapa kita harus
menyebutnya bahwa itu hanya sebuah bencana alam yang diberikan oleh Tuhan...?”
(NSdI, 2004:9) (Kutipan:18)
4.
Kalid divonis setahun dua bulan oleh hakim.
(NSdI, 2004:12) (Kutipan:29)
5.
Ketika hakim selesai membaca keputusan,
kembali, mereka kalap dan mengatakan bahwa hukuman itu tidak adil untuk
Kalid.”Yang pantas dihukum itu Dedi Chandra dan antek-anteknya!” teriak mereka.
“Hakim telah dibayar oleh Dedi Chandra!” teriak yang lain.
(NsdI, 2004:12) (Kutipan:16)
6.
Engkau tahu, aku lahir dan besar di sebuah
kampung terisolir yang hingga kini masih seperti itu ketika aku meninggalkannya
hampir tujuh tahun lalu. Kemiskinan bukan lagi hal baru, dan itu yang terus
menerus kami lawan. Tetapi kemiskinan itu semakin bertambah dengan penderitaan
yang kami, orang kampung, sulit mencari solusinya. Bahkan, saking bodohnya,
engkau tentu tahu kisah tentang Fatimah dan Ipah, dua wanita yang dikorbankan
kepada penunggu Sungai Indragiri ketika musim panas melanda kampung kami selama
berbulan-bulan. Itu bukan sebuah bagian dari budaya, Alia, tetapi itu adalah
bentuk ironis dari kebodohan kami.
(NSdI, 2004:18) (Kutipan:20)
7.
Mulanya, dengan inisiatif sendiri, aku datang
ke kantor Dinas Kehutanan di Rengat ketika libur kuliah dan mengatakan kepada
mereka bahwa aktivitas PT Riau Maju Timber di kampung kami harus dihentikan.
Sebab, lambat-laun hutan di kampung kami habis dan banjir selalu datang
menenggelamkan kampung kami. Tapi apa jawaban mereka? “Tidak hanya di kampungmu
hutan ditebang, tetapi mengapa hanya kamu yang melapor? Itu bukan urusan kamu,
pemerintah yang memberi izin!”
(NSdI, 2004:19) (Kutipan:14)
8.
Namun, aku benar-benar terpukul ketika musim
hujan di bulan September, aku kehilangan abah. Aku tak bisa pulang ketika itu,
karena permukaan Sungai Indragiri naik dan gemuruh alirannya seperti ombak yang
bergulung berwarna kuning. Aku menginap di rumah penjaga sekolah selama tiga hari.
Ketika hari Sabtu tak hujan, aku pulang dan bisa menyeberang. Namun yang
kudapati di sana, umi tidak di rumah dan seluruh penduduk kampung berdoa,
membaca Surat Yasin. Aku bertanya siapa yang meninggal dan mereka diam semua...
Umi kemudian meminta saya mendekat dan mengatakan, “Relakan abahmu..”
(NSdI,
2004:21) (Kutipan:8)
9.
Bulan April 1998, sekilas, dari siaran radio
yang aku dengar, keadaan politik memang memburuk akibat jatuhnya harga rupiah.
Tetapi bagi kami, naiknya dolar malah melambungkan harga getah karet, dan harga
kayu juga naik drastis. Inilah yang kemudian memulai segalanya.
(NSdI, 2004:22) (Kutipan:1)
10.
Apakah ada jaminan bagi kami, bagi umi dan
warga kampung ini bahwa dengan semua penderitaan itu akan masuk surga?
“Tuhan tidak ada di sini, Ustaz..” kataku
perlahan kepada Ustaz Mahyudin setelah acara yasinan selesai. ...Aku diam.
Namun sejak itu, aku sudah pergi dari Tuhan dan tak menyentuh surau atau kitab
suci lagi. Aku kecewa sekali. Mungkin imanku yang pendek, tetapi kenapa semua
menjadi tidak adil untuk kami?
(NSdI, 2004:22) (Kutipan:19)
11.
Markoni datang ke rumah dan mengatakan bahwa
PT Riau Maju Timber sudah melakukan penebangan kayu hampir sampai perbatasan
kampung kami. Beberapa hutan di kampung sebelah sudah lenyap dan tinggal semak
yang akan mudah termakan api kalau musim panas datang pertengahan tahun nanti.
“Saya kemarin sempat masuk ke lokasi penebangan mereka, Bang. Sebentar lagi
mungkin hutan yang di sebelah barat kampung kita ini sudah habis. Sejak Abang
pergi kuliah, kami tak boleh lagi pergi membalak ke hutan. Mereka bilang hutan
kita ini masuk HPH mereka..”
(NSdI, 2004:22—23) (Kutipan:2)
12.
Di depan beberapa pemuda, suatu malam, aku
menjelaskan bagaimana tamaknya perusahaan-perusahaan besar dalam menjalankan
bisnisnya. “Kapitalis modern tak membutuhkan tenaga kerja yang berlebihan.
Mereka pelit memberikan kesejahteraan kepada pekerja. Jangan percaya kepada
masa depan cerah yang mereka janjikan. Temanteman, dari dulu hingga sekarang,
kita tetap miskin, sementara mereka selalu datang dan pergi membawa kekayaan
alam kita. Tak ada agama yang bisa membebaskan masyarakat dari kemiskinan ini.
Dalam Islam, Tuhan juga mengatakan bahwa yang menentukan nasib seseorang adalah
orang itu sendiri. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu umat, kalau umat itu
sendiri tidak mau mengubahnya. Artinya apa, kita sendiri yang harus bekerja
keras untuk keluar dari masalah ini..”
(NSdI, 2004:25) (Kutipan:26)
13.
Ya, siapa yang tak kenal DC?
Melawan
dia berarti siap menentang maut. Tetapi aku tak hendak melawan dia. Aku hanya
mengatakan kepada penduduk bahwa yang membebaskan kemiskinan adalah keyakinan
diri kita sendiri. Malam yang kering pada 12 Agustus 1998 itulah, aku merasa
menjadi manusia yang berani melawan sesuatu yang memang harus dilawan. Aku
menjadi paham, bahwa tak ada penunggu Sungai Indragiri, yang ada hanyalah
perusahaan HPH yang menghabiskan hutan dan membuat bencana setiap tahunnya.
(NSdI, 2004:28) (Kutipan:9)
14.
Malam itu kami bergerak sekitar 30 orang
laki-laki dan berkumpul di rumah Markoni. Kami berjalan tanpa penerangan menuju
kompleks perusahaan itu dengan membawa beberapa jeriken minyak bensin dan
masing-masing orang membawa geretan pemantik api.
(NSdI, 2004:28) (Kutipan:11)
15.
Aku memang terseret dendam pribadi, dan
masyarakat kampungku juga marah!
(NSdI, 2004:30)(Kutipan:10)
16.
Kedua penjaga itu terkejut dan dia lebih
terkejut lagi karena pada saat yang bersamaan, semua pagar keliling sudah
menyala dan beberapa saat setelah itu seluruh bangunan di dalam kompleks itu
menyala. Malam itu, ada api yang membakar, seperti dadaku yang dibakar dendam!
(NSdI, 2004:30) (Kutipan:27)
17.
Tak ada yang bisa menyelamatkan base camp itu
dari amukan api. Bangunan yang hampir seluruhnya terbuat dari kayu tersebut
menjadi makanan empuk api yang kemudian membumbung dan menjadi bola api raksasa
terlihat dari jauh yang memecah kesunyian kampung itu.
(NSdI, 2004:30) (Kutipan:12)
18.
Yang ada dalam pikiranku sejak aku mulai
memahami pedihnya menjadi orang miskin adalah bagaimana supaya kami semua di
kampung diperhatikan; sekolah dibangun dengan layak, jalan dan jembatan dibuat
dan orang-orang di kampung kami tidak bermental terbelakang seperti itu.
(NSdI, 2004:31-32) (Kutipan:23)
19.
Mereka dekat dengan sebuah ornamen modern
berupa perusahaan pengolahan kayu, tetapi mereka menjadi buruh dan bahkan budak
di tanah mereka sendiri. Mereka tak bisa berbuat banyak. Kami tak bisa lagi
mencari kayu barang dua atau tiga kubik seminggu dan itu dilakukan dengan
gotong royong, karena penguasaan hutan sudah dimiliki oleh perusahaan itu. Kami
hanya bisa menakik getah, mencari ikan di sungai dan menjualnya ke pasar.
Sementara, setiap musim panas kami kebagian asap tebal, dan setiap musim hujan
kami mendapatkan banjir bandang.
(NSdI, 2004:32) (Kutipan:21)
20.
Namun dia tetap memiliki keinginan itu;
menjadi guru dan mengajar anak-anak di kampungnya, agar tidak hanya sekadar
bisa tulis-baca Alquran seperti selama ini didapatkannya dari guru mengaji di
surau ketika malam setelah sholat Maghrib. Dia ingin menjadi guru, agar
anak-anak di kampung ini bisa sekolah yang lebih tinggi; menjadi insinyur untuk
membangun jembatan dan jalan di kampungnya, atau menjadi pejabat agar punya
pikiran untuk membangun sekolah di kampungnya.
(NSdI, 2004:35) (Kutipan:24)
21.
Tahun 1986, inilah tahun terburuk dalam
sejarah bencana di kampungnya. Dia baru tamat SD ketika itu dan umurnya baru 12
tahun. Meski masih bau ingus, tetapi dia ingat betul semua yang terjadi di
kampungnya; panas terik sepanjang tahun, beras menjadi langka, pohon karet tak
mengeluarkan getah karena tak tersiram air. Penduduk kampung itu akhirnya
banyak yang mencari ubi dan talas ke kampung lain untuk sekadar mempertahankan
hidup.
(NSdI, 2004:38) (Kutipan:3)
22.
Panas terik masih terus memanggang kampungnya,
juga kampungkampung lain di pinggir sungai itu. Asap mengepul dari hutan-hutan
di pinggir kampung yang sudah banyak terbakar. Hampir setiap hari pula, dia
selalu mendengar suara mesin penebang kayu meraung-raung tidak siang tidak
malam dan beberapa hari kemudian kayu-kayu, yang sudah dirajang dengan rapi
baik berbentuk papan maupun batangan segi empat dikeluarkan oleh serombongan
kerbau dari hutan. Sesampai di pinggir sungai, ada orang yang mengikatnya
dengan tali atau kawat dan kemudian dalam jumlah besar dialirkan ke arah hilir
sungai dan dikendalikan oleh kepompong bermesin diesel. Hampir setiap hari,
dalam panas yang memanggang kampung itu, hal seperti itu terjadi; raungan
gergaji sepanjang hari, suara gedblar kayu tumbang, kayu yang ditarik
kerbau keluar dari hutan menuju pinggir sungai, dan rombongan aliran kayu ke
arah hilir.
(NSdI, 2004:39—40) (Kutipan:4)
23.
“Karena mereka menghancurkan hutan yang
menyerap dan menyimpan air saat musim hujan dan mengeluarkannya saat musim
panas seperti sekarang. Lihatlah, air sungai sudah hampir mengering dan kita
kehilangan mata pencaharian karena ikan-ikannya sudah habis, tak ada air.”
(NSdI, 2004:41) (Kutipan:5)
24.
Namun, ternyata berhari-hari kemudian hujan
benar-benar tak berhenti. Air sungai naik hingga ke rumah panggung. Suara
gemuruh datang seperti air bah yang menggulung, atau bunyi ombak badai di
lautan ganas. Yang datang beberapa saat setelah itu, benar, air menggulung dan
rumah-rumah penduduk terhempas seperti suara kapal yang pecah dihantam badai.
Banjir benar-benar datang dan mereka tak sempat menyelamatkan apa-apa.... Banyak
rumah yang hancur, ternak yang terbawa air, dan korban jiwa yang belum
terhitung.
(NSdI, 2004: 49—50) (Kutipan:6)
25.
Seminggu hujan tak berhenti dan kampung itu
benar-benar menjadi danau baru, mungkin juga puluhan kampung lainnya di
sepanjang aliran sungai. Kalid juga masih ingat ketika itu, setelah air surut
dan normal, kampung itu dilanda wabah kolera. Penyakit itu datang tidak hanya
menyerang anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Banyak yang meninggal ketika
itu, sekitar pertengahan tahun 1986, karena bantuan obat-obatan dan dokter dari
kota terlambat. Transportasi yang susah membuat distribusi bantuan tersendat,
ini belum lagi masalah birokrasi yang selalu menjadi penghambat penyaluran
bantuan dalam bencana apapun.
(NSdI, 2004:51) (Kutipan:22)
26.
Penebangan hutan yang tidak terkontrol dan
pembakaran yang dilakukan membuat bencana itu selalu datang. Hampir setiap
tahun juga, Kalid selalu menyaksikan kampungnya menjadi danau berwarna kuning
dan seluruh warga kampung harus mengungsi ke bukit selama beberapa hari sampai
air surut.
(NsdI, 2004:53) (
Kutipan:7)
27.
Hingga kemudian seluruh penduduk kampung itu
tersadar, di suatu malam yang kering, base camp perusahaan itu terbakar.
Apinya menjulur ke atas di malam yang gelap di tengah hutan, menjulur seperti
ingin menjilat apa saja untuk dimakan dan dihancurkan.
(NSdI, 2004:57) (Kutipan:28)
28.
Ada air bandang manghancurkan kampung. Ada
kebakaran; kabut, jerebu... Ada luka, sakit hati dan kebencian yang
membludak di dada. Kebencian yang berasal dari kekecewaan karena ketidakadilan:
kepemilikan yang tercabut dan diambil dengan paksa. Mereka memiliki izin dari
pemerintah, tetapi tanah ini bukan tanah pemerintah. Tanah ini milik manusia;
rakyat, orang-orang yang tinggal, lahir dan besar di tanah ini.
(NSdI, 2004:58) (Kutipan:15)
29.
Maret 2000. Penjara telah mengajarkan aku
banyak hal. Paling tidak, aku semakin memahami bahwa di tempat yang terkungkung
seperti itu, aku malah menemukan kebebasan untuk melakukan banyak hal, termasuk
berpikir bagaimana mencari kehidupan yang lebih baik suatu saat nanti. Di
penjara, aku banyak memiliki waktu untuk merenung dan belajar menghargai orang
lain, meski banyak orang yang tak mau menghargaiku. Aku maklum, mereka
kebanyakan memang residivis dan terbiasa dalam kehidupan yang keras.
(NSdI, 2004:62) (Kutipan:30)
30.
Namun ketika sampai di Rimbo Pematang, tak
kudapati umi. Aku hanya menemukan gundukan tanah merah di pinggir hutan dan
jawaban para tetangga tentang meninggalnya perempuan yang paling kucintai itu
beberapa hari sebelumnya.
(NSdI, 2004:62) (Kutipan:31)
31.
Tengah malam aku meninggalkan Rimbo Pematang,
meninggalkan segala cinta yang kumiliki di kampung itu. Meninggalkan semuanya.
Aku berlari membawa sayatan yang sangat pedih. Aku berjalan kaki beberapa jam
dan tiba di Lintas Timur ketika hawa dingin menusuk tulang, dan aku tak tahu
harus ke mana. Sebuah bus ke arah utara berhenti dan aku naik. Paginya, bus
berhenti di Pekanbaru dan aku turun di kota itu. Aku pernah beberapa kali ke
Pekanbaru, tetapi aku tidak kenal betul dengan Pekanbaru karena aku lebih kenal
Kota Jambi, tempat aku kuliah, selain jarak yang lebih dekat ke Jambi ketimbang
ke Pekanbaru.
(NSdI, 2004:63) (Kutipan:32)
32.
Di dekat penginapan itu, ada rumah makan
Padang yang cukup ramai. Aku menemui salah seorang pemiliknya dan mengatakan ingin
bekerja sebagai apapun, yang penting menyambung hidup. Si pemilik rumah makan
itu, orang memanggilnya Ajo Yusrizal, tertawa mendengar apa yang kukatakan...
Dia mengatakan bahwa sebenarnya semua tempat sudah cukup. Namun kemudian dia
bilang, kalau aku mau, aku bekerja dulu di belakang sebagai tukang cuci piring.
(NSdI, 2004:64) (Kutipan:33)
33.
Namun, DC dan perusahaannya telah
menghancurkan semuanya. Aku berubah menjadi emosional dan gampang marah serta
selalu memendam dendam. Aku sakit hati dan selalu memendam perasaan ingin
menghancurkannya suatu saat nanti kalau ketemu dia, atau siapapun orang
dekatnya. Dia telah menghancurkan semuanya; banjir dan kekeringan karena hutan
di sekitar kampungku habis, abah terbawa aliran sungai dan jasadnya pun aku tak
pernah melihatnya, aku bersama teman-teman membakar base camp dan
kemudian masuk penjara yang mungkin membuat umi tertekan batin karena anak
satusatunya berurusan dengan masalah kriminal dan akhirnya meninggal hanya
beberapa hari sebelum aku keluar dari penjara. Tidak cukupkah itu menjadi
alasan untuk menghancurkannya?
(NSdI, 2004: 86) (Kutipan:13)
34.
“Aku ingin dia hancur, Sarah... Aku marah
karena DC adalah biang kehancuran semuanya..” (NSdI, 2004:90)
(Kutipan:34)
35.
Beberapa bulan kemudian, hampir Subuh dia datang
ke rumah dan mengatakan dia akan pergi jauh. Perasaanku mengatakan telah
terjadi apa-apa dengan dirinya. Aku yakin dia telah melakukan sesuatu dan aku
yakin itu ada hubungannya dengan DC... “Mungkin saat ini sedang sibuk dan
menyebarkan intelijennya untuk mencari pelakunya. Aku telah menghancurkan DC..”
(NSdI, 2004:94) (Kutipan:35)
36.
“... Perjalananku tak tentu arah, bisa
saja aku akan lama masuk di hutan atau tinggal berpindah-pindah di kota besar
dengan menjadi gembel atau pengemis.”
(NSdI, 2004:95) (Kutipan:36)
37.
Ketika kemudian aku mendengar berita itu:
engkau hilang terseret arus sungai dan mayatmu tak ditemukan dalam sebuah
banjir bandang yang melanda kampungmu, aku sudah kehabisan air mata, Kalid. Aku
yakin dan percaya, seperti kejadian-kejadian sebelumnya, engkau selalu lolos
dari apa yang diperkirakan orang. Entahlah, entah kapan lelaki sepertimu akan
mati, atau engkau memang memiliki ilmu yang membuatmu tak mati, tak terdeteksi
aparat, bisa membuat semua orang mencintaimu dan segala ilmu lainnya?
(NSdI, 2004:97—98) (Kutipan:37)
38.
Aku tak
yakin, meski aku mempercayainya: kamu bisa melakukan segalanya seperti yang
engkau inginkan. Benarkah engaku telah mati?
(NSdI: 2004:98) (Kutipan:38)
39.
Kemudian, seperti dalam cerita-cerita komik
atau film silat, lelaki berambut gondrong menggendong tas ransel itu berjalan
menjauhi lapau itu, yang membuat semua orang yang ada di situ melongo. Angin
senja yang hampir habis membuat rambutnya berkibar-kibar, dan sinarmatahari
yang hampir tenggelam membuat tubuhnya tampak hanya bayangan, seperti siluet.
Dia berjalan ke arah barat, ke arah matahari tenggelam, ke arah Bukit
Tengkorak, bukit kematian yang diyakini oleh seluruh penduduk di kaki Gunung
Kerinci itu.
(NSdI, 2004:100) (Kutipan:39)
40.
Dingin
yang membuat beku, dan laki-laki berambut gondrong menggendong tas ransel itu
tetap berjalan dalam gelap, tanpa cahaya apapun, tanpa apa-apa. Hanya berjalan,
ke arah entah.
(NSdI, 2004:101) (Kutipan:40)
No comments:
Post a Comment